Manusia dalam mempertahankan hidupnya
(survive) atau dalam persaingannya membutuhkan jaminan dan dukungan keamanan, kekuatan, perlindungan, jaminan rejeki (baca: ekonomi),
kesehatan, kepandaian, kewibawaan/daya pengaruh dsb. Segala cara dan upaya
dilakukan untuk memperoleh hal itu. Terlebih jika sedang membutuhkan solusi
‘mendesak’, maka apapun dapat dilakukannya demi mempertahankan dan memenangkan persaingannya tersebut.
Diantara cara yang ditempuh oleh
manusia untuk memperoleh jaminan dan
dukunganitu adalah dengan mengandalkan ‘jalan gaib’ baik dalam bentuk sesuatu yang dibaca (kan), dituliskan
(kan), berupa benda yang dibawa/dipakai/ disimpan, laku ritual tertentu, yang dimakan/diminum, olah nafas/ gerak
tertentu dsb. Semua itu terkait erat dengan bentuk-bentuk pengembangan berikutnya dari aktivitas yang berhubungan dengan
RUQYAH.
Ruqyah atau mantera (jawa : suwuk, jopa-japu) sudah ada sejak sebelum
RosuluLLah saw diutus. Keberadaannya dibutuhkan
dalam kehidupan manusia. Hanya saja Islam melarang setiap hal yang mendatangkan
kerugian dan kesesatan, sekalipun hal itu ‘dibutuhkan’. Islam menggantikan
setiap kebutuhan yang dilarang itu dengan sesuatu yang halal yang lebih
baik dan menjamin kebahagiaan hidup selamanya. Mantera-mantera (Ruqyah) untuk
perlindungan atau penyembuhan – baik yang jelas ke-syirik-annya maupun
yang samar-samar – adalah suatu yang dilarang, sekalipun ‘seolah-olah’
mendatangkan hasil. Dalam sebuah riwayat
shohih diberitakan,
عَنْ عَوْفٍ بْنِ
مَالِكٍ رضي الله عنه قـال : كُنَّا نَرْقِي فِى الْجَـاهِلِيَّةِ، فَقُلْنـَا
يـَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى بِذلِكَ ؟
فَقَالَ : أَعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَـأْسَ بِالرُّقْيَةِ
مَالَمْ تَكُنْ شِرْكـاً (رواه مسلم)
Dari sahabat ‘Auf bin Malik ra dia
berkata : Kami dahulu meruqyah di masa Jahiliyyah, maka kami bertanya : “Ya
RosuluLLah, bagaimana menurut pendapatmu ?” Beliau menjawab : “Tunjukkan padaku
Ruqyah (mantera) kalian itu. Tidak mengapa mantera itu selama tidak mengandung
kesyirikan” (HR. Muslim).
Meruqyah dengan cara yang sesuai dengan kaidah syari’at (الرُّقْيَةُ
الشَّرْعِيَّة) tidak hanya
dikhususkan terhadap permasalahan yang berhubungan dengan Jin atau Sihir saja.
Terbukti dari beberapa do’a Ruqyah yang diajarkan Nabi saw banyak yang
berhubungan dengan penyakit-penyakit pada umumnya termasuk luka-luka,
‘keracunan’ dsb. ALLAH swt menurunkan Al-Quran yang diantara fungsinya adalah
sebagai SYIFAA’ (obat/ penyembuh) terhadap penyakit serta gangguan secara umum.
Praktek ruqyah dapat dilakukan baik secara individul atau secara massal yang disetarakan dengan pengobatan massal. Beberapa ulama dalam
kitab-kitab hadits mereka (seperti Imam Al-Bukhori, At Tirmidzi dan Abu Dawud)
memberi penjelasan tentang Ruqyah dalam Bab At Thibb (Pengobatan). Dalam
praktek Ruqyah Syar’iyyah (individual atau secara massal) inilah nilai-nilai dakwah
dengan menanamkan kebersihan Aqidah dan ke-shohihan ibadah secara hikmah dapat
kita sampaikan dan mau’izhoh hasanah secara efektif bisa kita ungkapkan(الرُّقْيَةُ الدَّعْوِيَّة) .
Meruqyah juga tidak dikhususkan hanya bisa dilakukan oleh
orang-orang tertentu. Bagaimanapun juga Ruqyah adalah salah satu warisan
RosuluLLah SAW kepada semua umatnya sebagaimana ajaran-ajaran beliau yang lain.
Selama syarat--syarat sebagai muslim yang ‘baik’ secara minimal
dapat kita penuhi, insya ALLAH kita semua dapat meruqyah. Syarat-syarat
(minimal) tersebut adalah Bersih Aqidah
kita dan Benar Ibadah kita sesuai
yang diajarkan oleh RosuluLLah saw.
Semoga semakin banyaklah kaum muslimin yang bisa melakukan
peruqyahan syar’iyyah, paling tidak untuk diri sendiri dan keluarganya. Dengan
demikian semakin banyak pula masyarakat kita yang terselamatkan dan mau meninggalkan ruqyah-ruqyah syirkiyyah (terapi
yang mengandung kesyirikan) dengan beralih kepada Ruqyah Syar’iyyah. Dan semoga
masyarakat kita dapat merasakan hidup berkah yang sebenarnya setelah terlepas
dari kekeliruan-kekeliruannya tersebut. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar